IBADAH BUDAYA DALAM SEMANGAT BERTEATER
Efvhan Fajrullah
(Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Palembang)
Teater adalah multi arts atau seni campuran, dimana semua unsur-unsur seni yang lain seperti sastra, rupa (termasuk arsitektur), musik dan gerak (tari) berbaur dan saling menunjang didalamnya, hingga tercipta sebuah karya seni yang disebut teater. Teater juga merupakan seni yang mengutamakan kerja sama (bukan berarti kerja kolektif) sehingga masalah kedudukan tidak terstruktur seperti satu garis komando dari atas ke bawah, seperti struktur dalam ketentaraan. Perlu juga diketahui bahwa kerja sama di sini berarti kebersamaan, yaitu komitmen setiap pendukungnya melalui komunikasi yang bebas dan terbuka untuk menciptakan sebuah karya seni yang handal. Komitmen melalui komunikasi yang bebas itulah yang biasa disebut dengan manajemen dalam teater, yaitu sebuah cara atau aturan yang disepakati bersama untuk mengorganisir kegiatan (produksi) sebuah karya pementasan. Dengan demikian, karya seni yang dihasilkan oleh orang-orang yang tergabung didalam produksi tersebut bukan hanya atau tidak sepenuhnya dihasilkan oleh satu orang atau satu unsur saja.
Manajemen produksi teater. Sebenarnya sudah jadi masalah yang pelik dan akut, bukan saja terjadi di teater-teater amatir (baca; teater kampus dan pelajar), tetapi kelompok-kelompok teater yang profesional dan semi profesional di Indonesia pun mengalaminya. Sebut saja Teater Koma, mungkin satu-satunya teater Profesional yang cukup baik dalam mengelola manajemen produksi. Akan tetapi, tetap saja manajemen produksi di teater masih menjadi semacam konsep atau barang aneh dan berat untuk dilaksanakan. Untuk itu, ada baiknya kita pilah dulu istilah manajemen produksi teater atau pengaturan kerja produksi teater dengan manajeman teater (saja). Manajemen teater yang dimaksud disini adalah bagaimana pengaturan dan perencanaan yang berupa konsep atau aturan yang mengelola serta mengorganisir acara atau kegiatan melalui sebuah administrasi (managing or being managed; administration; persons managing a business). Kita coba menelaah tulisan Tommy F. Awuy dalam buku Teater Indonesia. Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa teater Indonesia adalah teater yang penuh ambiguitas. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, terutama, menurutnya, teater Indonnesia hingga kini masih amatiran, baik dari segi manajemen juga dari segi artistik (penyutradaraan, acting, skenografi). Semuanya masih saling meraba meyakini fungsi, bidang kerja dan tugasnya masing-masing. Selanjutnya Tommy F. Awuy menyatakan bahwa ambiguitas tersebut disebabkan oleh alasan fanatik yang mengatakan bahwa teater tergantung pada ekspresi realitasnya, sehingga bukan menjadi sebuah pertunjukan yang iluvitasnya tinggi. Teater seharusnya mengelak, menolak, bahkan mentransendensi realita. Banyak lagi contoh problema yang disampaikannya, tetapi kedua masalah di atas adalah hal yang paling esensial sebagai bahan ulasan kita mengenai geliat dunia teater an sich.
Di Indonesia besar ini, jika teater masih dilaksanakan secara amatiran, baik manajemen atau artistiknya, tentu saja akan menghambat mengalirnya lava penuh gejolak dan geliat umat jagad teater dalam melakukan ibadahnya. Keamatiran perteateran di Indonesia besar, disebabkan oleh hal yang sangat mendasar, yaitu kurikulum pendidikannya (secara akademik). Kurikulum pendidikan yang amatir tentu saja menciptakan teater yang amatir pula. Sebagai contoh yang paling menonjol dari hasil keamatiran itu adalah program studi akting dan penyutradaraan (STSI, ISI dan IKJ). Dalam kurikulum nasional program studi akting, mata kuliah yang diajarkan kebanyakan tidak berhubungan dengan akting, tetapi malah “studi teater tentang akting,” nah? Lalu, ambiguitas Kurikulum Nasional lebih nyata kelemahannya di program studi penyutradaraan. Hanya di Indonesia besar, program studi penyutradaraan diajarkan di jenjang S1. Di Negara-negara lain penyutradaraan adalah bidang ilmu yang dianggap sangat tinggi (mungkin karena melihat umur mahasiswa yang masih kurang pengalaman hidupnya), sehingga hanya diajarkan di tingkat S2 dan S3. Sedangkan di Indonesia besar, perbedaan program studi akting dan penyutradaraan hanya pada mata kuliah akting itu sendiri, sementara mata kuliah lainnya sama, tetapi untuk mungkin untuk penyutradaraan lebih banyak porsinya. Selain itu, mahasiswa yang mengambil program studi Penyutradaraan tidak perlu mempelajari akting sama sekali. Akhirnya alumni-alumni yang dihasilkan dari kurikulum yang campur aduk atau amburadul seperti ini, adalah pakar-pakar debat kusir seni belaka.
Dalam dunia seni dikenal motto 3B, yakni: BAIK, BENAR, dan BAGUS. Segala sesuatunya harus bernilai (memiliki nilai) BAIK, karena dilandasi oleh niat untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Segala sesuatunya harus bernilai BENAR, karena segala kiat kreatif dilandasi metodelogi yang dapat dipertanggungjawabkan; karena memiliki kaidah teknis yang mendasar. Segala sesuatunya harus bernilai BAGUS, karena segala nilai baik dan benar tidak akan terwujud dengan indah jika tidak dikemas secara estetis. Kita ambil contoh dari kehidupan nyata, jika diperhatikan, seorang pekerja di bidang ilmu eksakta, sosial, ekonomi, maupun politik yang mampu menghasilkan karya gemilang dan diakui oleh masyarakat luas, maka komentar umum yang muncul adalah bahwa mereka telah mampu dan sampai pada kemampuan menampilkan seni ilmu eksakta, seni ilmu sosial, seni ilmu ekonomi, dan seni ilmu politik. Mereka menjadi seniman di bidangnya. Demikian predikat yang diberikan kepada mereka, karena telah mampu mengemas nilai baik dan benar secara bagus.
Dalam jagad teater, proses kerja sama atau manajemen dibagi dalam empat bagian besar dimana setiap orang yang terlibat beribadah dan ikut campur di dalamnya mengambil peranan penting dalam menciptakan sebuah produksi yang “ensemble“ (harmonis). Pembagian kerja dalam sebuah karya seni (produksi) tersebut dilakukan sesuai porsi masing-masing dan selalu sejajar tingkat komandonya. Pembagian kerja ini dapat dilihat dari proses manifestasi naskah sebuah karya sastra yang murni menuju sebuah karya teater (pertunjukan). Naskah yang menjadi petunjuk utama dieksplorasi oleh sutradara yang nantinya menjadi konsep produksi. Para aktor dan penata artistik akan melakukan penafsiran dan juga eksplorasi untuk menentukan pilihan-pilihan artistik mereka menciptakan sebuah peristiwa atas konsep sutradara yang nantinya akan dinikmati oleh penonton dalam sebuah pertunjukan.
***
12 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1996, dengan nekad dan biaya sendiri, saya mendatangi kota Bandung yang saat itu sedang menjadi tuan rumah Temu Teater Indonesia. Saya (yang saat itu masih berstatus mahasiswa Universitas Sriwijaya) dipercaya oleh teman-teman di Lingkar Studi Teater Palembang (LSTP) sebagai Sekretaris Jenderal, pura-puranya menjadi peninjaulah. Berbekal semangat beribadah dalam teater, saya, Darto Marelo dan Anwar Putra Bayu, bergerilya membuka link dengan teman-teman penggiat teater seluruh Indonesia yang hadir saat itu. Masing-masing kami berusaha berinteraksi dan bertukar informasi dengan teman-teman yang se-generasi pada tatanan usia (kebetulan kami bertiga terdiri dari generasi yang berbeda), mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan dan geliat perteateran di daerah masing-masing. Saya mendapat jatah berinteraksi dengan teman-teman dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dari seluruh daerah yang memiliki sekolah tinggi dan teman-teman penggiat teater dari universitas atau kampus-kampus dan pelajar yang ikut dalam temu teater tersebut.
Tak dapat saya ungkapkan, betapa bahagia dan sumringah jiwa saya ketika dapat bertukar berita dan cerita dalam komunitas yang menghirup atmosfir keriangan dan kegairahan beribadah budaya dalam semangat berteater saat itu. Betapa tidak, jiwa, pikir dan batin saya seketika menggeliat dan membuncah dalam kebahagiaan yang alang kepalang. “Inilah habitat saya....“, batin saya bergumam. Akan tetapi, dari sekian banyak masukan pengetahuan dan informasi yang saya himpun dalam file batin dan otak, terdapat juga sekian banyak persoalan dan masalah yang cukup membuat saya tersadar untuk kembali bertanya pada diri saya, mengenai ironi perkembangan dan eksistensi teater-teater kampus dan (apalagi) teater pelajar. Masalah yang utama adalah regenerasi. Kelompok-kelompok teater tersebut seperti jamur di musim hujan, lalu kerontang dan hilang di musim kemarau. Timbul-tenggelam karena ditinggalkan pentolan penggiatnya. Yang ke-dua, tentu saja masalah manajemen seperti yang saya ungkap di atas. Lalu, karena semua unsur tadi digarap secara amatiran, tentu saja menghasilkan suatu karya yang juga amatiran dari tinjauan kualitas suatu karya. Coba kita bayangkan, jika kualitas suatu karya teater yang diproduksi oleh kelompok-kelompok teater atau penggiat-penggiat teater yang memang berbasis dari perguruan tinggi seni (yang memang khusus belajar secara akademis) saja masih sering amburadul, lalu bagaimana dengan karya-karya kelompok-kelompok teater kampus lain, yang bukan berbasis sekolah seni (yang berteater hanya karena sekedar menyukai dan mencintai dunia teater; amatir)? Tidak bisa tidak, semangat berteater tersebut harus disalurkan sedemikian rupa dalam proses pembelajaran yang BAIK dan BENAR, supaya menghasilkan penggiat-penggiat teater yang “BAGUS.“ Bukan yang hanya “sekedar karena“ menyukai, melainkan mencintai atas dasar “memahami“. Sehingga mau belajar dan membuka wawasan, dan bukan hanya kuantitas pentas dan jumlah penonton yang diutamakan, tetapi lebih terpacu untuk menampilkan sebuah karya yang memang berkualitas. Baik dari segi manajemen, maupun dari segi artistik. Semoga.
Pada tahun 2003, di sela-sela pementasan teater pada sebuah perhelatan dengan judul acara “Pekan Performing Art (PPA)“ di Universitas Udayana, Bali, saya dan Ratna Sarumpaet (saat itu baru saja dikukuhkan sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta), serta beberapa teman mahasiswa penggiat teater dari beberapa Universitas di Indonesia terlibat dalam pembicaraan santai dan ngalor-ngidul. Dalam keasyikan dialog santai tersebut, saya terhenyak oleh pernyataan yang saya tangkap saat itu bersifat seperti keluhan dari salah seorang teman pentolan Teater Orok (Universitas Udayana), “Fvhan..., saya sudah capek ngurusin teater kampus dan pelajar. Amatiran terus, jadi gak pernah bisa total berkreasi. Manajemen produksi, artistik, kemasan pentas, hingga dramaturginya gak pernah serius digarap....“ Saya tak mampu menjawab keluh kesah rekan saya itu. Hanya saja, setelah sekian tahun berselang, seiring dengan bertambahnya usia dan pikir, setelah sekian banyak bergelut dan menggeliat dalam proses belajar dan mengajar (baca; mendidik) dalam jagad teater, semangat saya bangkit. Akhirnya saya mendapat jawab atas keluhan rekan saya dari teater Orok tersebut. Karena saya selalu terbiasa menanggapi sesuatu dengan serius dari sudut keindahan, maka saya serius juga bekerja lebih keras guna mensosialisasikan dan mengaplikasikan pengetahuan tentang teater kepada generasi muda, khususnya di kampus-kampus dan pelajar. Baik itu berupa buku-buku tentang teater, vcd pementasan, sampai ikut turun gunung untuk mendidik di ekskul teater di berbagai sekolah, sebagai ibadah bagi saya, juga agar di kemudian hari akan tidak ada lagi yang berkeluh kesah seperti rekan saya dari teater Orok itu.
Karena, teater bagi saya adalah sebuah ibadah budaya. Sebagaimana umat manusia memilih agama yang dianutnya, berdasarkan keyakinan masing-masing. Maka sebagai umat yang beragama, tentu saja harus menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan dan keyakinan yang dianut. Nah, jika saya analogikan hal tersebut dengan konteks kebudayaan, yang dalam hal ini adalah teater, maka berteater adalah ibadah yang saya lakukan sebagai upaya menjalankan tuntunan dan keyakinan sebagai mahluk seni yang “berbudaya,” diusahakan melalui cara yang baik dan benar.
***
Ketika saya tengah giat-giatnya menyusun program diklat (Pendidikan dan Latihan) teater untuk pelajar, datanglah kabar dari Muhammad Azhari yang meminta saya untuk menulis prakata untuk bukunya yang berjudul “Manajemen Teater, Perencanaan dan Pementasan Drama/Teater di Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah.“ Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Dengan mengucap syukur terlebih dahulu, saya menyatakan rasa amat-teramat-sangat bahagia karena mendapat kehormatan menulis prakata di buku tersebut. Terlepas dari luas atau tidaknya, dalam atau dangkalnya, kurang atau lebihnya isi buku itu, saya pikir akan tetap berharga dan sangat besar manfaatnya untuk siapapun yang mengaku mencintai teater. Baik itu seniwan (meminjam istilah Nurhayat Arief Permana) teater, dosen, guru, pengajar, mahasiswa atau pelajar sekalipun, sebagai referensi belajar dan mengajar yang baik dan benar. Karena itu, ucapan syukur alhamdulillah tetap saya sampaikan, karena telah terbit lagi sebuah buku kupasan tentang jagad teater (secara didaktis dan metodelogis) yang memang masih terbilang sedikit di Indonesia besar ini. Dan ibadah saya, serta penggiat-penggiat teater lainnya (semoga Muhammad Azhari juga merasa beribadah) dalam semangat berteater, takkan kunjung padam.
Terimakasih, dan mudah-mudahan tulisan yang lumayan panjang ini layak dijadikan kata pengantar bagi sebuah buku yang berharga, sebelum jadi lebih panjang, bertele-tele dan membosankan.
Palembang, Desember 2008
Salam,
Efvhan Fajrullah
MANAJEMEN TEATER: MENJAWAB
TANTANGAN BERTEATER
DAN MENGAJAR TEATER
Dra. Hj. Latifah Ratnawati, M.Hum.
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Sriwijaya
Naskah drama ditulis tujuan akhirnya adalah untuk dipentaskan. Oleh sebab itu, ketika menulis drama, penulisnya hendaknya memikirkan masalah pementasan naskahnya itu. Terutama pada teater modern, naskah drama merupakan hal yang amat fungsional. Paling tidak, naskah itu bertindak sebagai penyuplai kata-kata atau kalimat-kalimat yang akan diucapkan oleh para pemainnya dan sebagai pemberi inspirasi bagi sutradara, pemain, dan para petugas lainnya untuk berkarya, dalam hal ini mewujudkan naskah itu dalam sebuah pementasan yang menarik. Itulah sebabnya drama sering disebut sebagai seni kolektif (collective art) karena pementasan sewbuah drama tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja, melainkan ia harus melibatkan orang-orang lain. Yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka harus bekerja sama dan saling bergantung. Selain itu, drama juga sering disebut sebagai seni campura (synthetic art) karena dalam pementasan drama terdapat unsur-unsur seni yang lain seperti seni musik, tari (gerak), lukis (dekorasi), dan sastra. Hal ini menunjukkan pula lagi-lagi bahwa berbagai pihak seperti sutradara dan asistennya, pemain, petugas (creuw) harus bekerja sama untuk memproduksi sebuah pementasan drama di panggung. Dengan demikian, mementaskan sebuah drama bukanlah pekerjaan yang mudah.
Buku Manajemen Teater: Perencanaan dan Pementasan Drama/Teater di Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah yang ditulis oleh Muhammad Azhari ini menjadi penting kehadirannya di tengah-tengah dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi yang menyelenggarakan mata kuliah Pementasan Drama. Selain itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengamanatkan apresiasi dan pementasan drama di Sekolah Lanjutan. Dengan demikian, buku ini pun dapat membantu teman-teman guru Bahasa Indonesia, baik ketika mengajar di kelas, maupun ketika mengasuh kegiatan ekstrakurikuler teater. Buku ini menjadi penting karena ditulis oleh penulis yang sejak mahasiswa berkiprah di bidang drama dan terter melalui teater kampus (Teater Gabi UKM Universitas Sriwijaya yang kelahirannya dibidani oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Sriwijaya). Pada akhirnya penulis buku ini mengabdikan ilmunya di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Palembang ini dan tetap berteater bersama para mahasiswanya.
Disadari sekali bahwa buku teks tentang drama dan pementasannya yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, untuk perguruan tinggi dan Sekolah Menengah, lebih sedikit bila dibandingkan dengan buku teks genre sastra yang lain. Dari yang sedikit itu, sebut saja misalnya Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia (Oemaryati, 1970) Tentang Bermain Drama (Rendra, 1976), Apresiasi Drama (Asmara, 1979), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (Boleslavsky diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Asrul Sani, 1968), Drama dalam Pendidikan (Brahim, 1986), Pengantar Bermain Drama (Hamzah, 1985), Teknik Mengarang Naskah Drama TV (Wisnu, 1975), Teater: Buku Pelajaran Seni Budaya untuk Kelas XII (Wijaya, 2007), dan Seni Drama untuk Remaja (Rendra, 2007). Akan tetapi buku-buku ini belum membicarakan kaitan teater dengan manajemen sehingga membentuk bahasan manajemen teater.
Manajemen Teater: Perencanaan dan Pementasan Drama/Teater yang sedang Anda baca ini, tampaknya ditulis dari pengalaman menekuni teater dan mengajar Perencanaan Pementasan Drama/Teater di Perguruan Tinggi yang sebelumnya memanfaatkan buku-buku yang berkaitan dengan drama. dan teater yang telah ada dan melengkapinya dengan bahasan manajemen sehingga membentuk manajemen teater. Dengan demikian, buku ini menjawab kebutuhan para mahasiswa yang mempelajari teater, para pelajar sekolah menengah, guru-guru Bahasa Indonesia, pembimbing teater di sekolah dan kampus, dan dosen yang mengajarkan drama dan teater, serta para peminat teater. Dengan rasa gembira dan tulus, saya ucapkan selamat kepada penulis buku ini. Semoga menjadi sumbangsih yang berarti bagi dunia pendidikan.
Palembang, Desember 2008
Dra. Hj. Latifah Ratnawati, M.Hum.